Rabu, 25 November 2015

Pentingnya Restu Ibu


Haruskah Mendapat Restu Ibu?


payung
Sekarang kita hidup di masa banyak fitnah dan cobaan. Orang yang berpegang teguh dengan ajaran islam murni bak orang yang memegang bara api. Panas memang, bahkan mungkin terbakar tangan kita, namun sekali saja kita lepaskan bara api tersebut, maka kita pun terperosok jauh ke dalam neraka.
Terkadang cobaan pun datang dari orang-orang terdekat kita. Hal ini sebagaimana persoalan yang sedang Antum hadapi sekarang ini. Keinginan menjalankan sunah namun harus dihadang oleh orang terdekat kita.
Akhi, memang islam menganjurkan kepada para pemuda yang telah mampu untuk bersegera menikah. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5066), Muslim (no. 1402)
Hadits ini memerintahkan para pemuda yang telah siap dan mampu menikah untuk segera menikah tanpa menunda-nunda. Selain itu, hadits ini juga menegaskan bahwa pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya. Terlebih lagi di hari-hari ini, di mana para pemuda setiap hari disuguhi pemandangan yang membangunkan syahwat, tentunya jika ia telah mampu dan siap sangat-sangat dianjurkan baginya untuk segera menikah. Bahkan bagi para pemuda yang takut terjerumus dalam perzinaan jika tidak bersegera menikah maka hukum menikah baginya adalah wajib.
Namun, kebahagiaan tersebut seakan terenggut manakala orang tua tidak menyetujui dan tidak mengamini apa yang menjadi harapan Antum. Itulah yang dirasakan oleh sebagian orang manakala keinginan tidak tercapai.

Lalu, haruskah ikut keputusan orang tua?

Ketika orangtua menolak, bukan berarti itu akhir dari segalanya. Ia bisa menempuh beberapa langkah, antara lain:
Seyogianya ia kembali mengevaluasi dirinya sendiri. Sudahkah ia betul-betul memurnikan niat untuk menikah? Sudahkah betul-betul ia siap dan mampu? Dan sudahkah yakin dengan wanita pilihannya?
Jika ia betul-betul telah siap dan mampu, ia juga sudah yakin dengan pilihannya, serta menikah karena Allah demi menjaga kesucian dirinya, maka langkah berikutnya ia harus kembali memetakan masalah. Mencari sebab orang tua atau lebih tepatnya ibu mengapa tidak menyetujui. Kemudian didiskuisikan dengan kepala dingin dan dengan penuh hikmah. Ia harus mempertimbangkan alasan-alasan orangtua, karena memang mereka lebih berpengalaman dan telah banyak makan garam kehidupan. Tapi, jika alasan orang tua tidak dibenarkan oleh syariat, maka ia harus mendiskusikan alasan ibu Antum dengan penuh bijak dan kesabaran.
Jika semua usaha di atas telah dilakukan, dan ternyata ibu juga belum merestui keinginan dia untuk menikah, apakah cukupkah restu bapak untuk menikah?
Perlu diketahui, sebenarnya sahnya pernikahan anak lelaki tidak membutuhkan restu orang tuanya, baik bapak maupun ibu, selama ia menikah dengan mempelai wanita yang telah mendapatkan restu walinya dan dihadiri saksi, maka sahlah pernikahan mereka.
Namun, yang perlu diperhatikan, menikah bukan saja menggabungkan dua orang lawan jenis, Namun, menggabungkan dua buah keluarga besar. Sehingga, keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam perjalanan hidup seseorang, dan konsekuensinya akan dia rasakan seumur hidup.
Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam menghadapi masalah ini. Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan rujukan, yakni orang tua kita. Biasanya mereka lebih jernih dalam melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya keputusan yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.
Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu dari orang tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup kita penuh berkah, tentram, dan bahagia dunia akhirat.

Apakah ini termasuk Durhaka terhadap ibu?

Durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Dan durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi. Dari keterangan dalam Al Quran, sunah, dan keterangan para salaf serta para ulama, kita bisa menyimpulkan bahwa durhaka kepada orang tua adalah tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.
Imam an-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menyebutkan keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap ibunya (Lihat Syarah Muslim oleh Imam an-Nawaawi I : 194)
Lalu, kapankah seseorang disebut durhaka? Ketika anak lelaki tidak menurut ibu dalam permasalahan ini sudahkah disebut durhaka kepada ibunya?
Sebelum menjawab, marilah kita menyimak keterangan para ulama tentang kaedah durhaka anak kepada orang tua.
Imam ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap “durhaka”, maka itu bukan termasuk kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan (Lihat Subulus Salaam IV : 162)
Ibnu Hajar al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan orang berakal dianggap “kurang ajar”, dapat sangat menyinggung perasaan orang tua (az-Zawaajir II : 73)
Dari beberapa keterangan di atas, bisa ditarik kesimpulan, jika seorang anak berbuat hal yang tidak dianggap sepele oleh kebanyakan orang, atau berbuat sesuatu yang menyakiti orang tua, maka hal itu adalah salah satu bentuk durhaka.
Karenanya, jalur diskusi harus senantiasa diupayakan, agar jangan sampai seorang anak menikah tanpa restu orang tua. Jika memang orang tua salah, maka tidak ada salahnya anak memaafkan orang tuanya dan terus berbakti kepadanya. Sebaliknya, bagi orang tua tidak selayaknya mempersulit anak, sehingga menjerumuskan anaknya sendiri dalam dosa durhaka kepada orang tua.
Ingatlah firman Allah,
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (al-Israa : 24)
Demikian, semoga bisa sedikit memberi pencerahan bagi kita semua. Wallahu a’lam. (***)

0 komentar:

Posting Komentar